Siregar, Islam & Sipirok

Jatengger Siregar alias Tuanku Ali Sakti  memenggal kepala Sisingamangaraja X, lalu ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah, sebagai pemenuhan sumpah dan balas dendam yang bersifat mengikat.

Conans.Com – PERISTIWA berdarah di Tanah Batak itu terjadi seiring dengan berlangsungnya Perang Paderi, yang diawali dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama di Sumatera Barat. (Ada yang berpendapat kata ‘Padri’ berasal dari Pidari di Sumatera Barat, namun ada yang berpendapat berasal dari kata ‘Padre’ (Bahasa Portugis), yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama).

Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang terdapat di India hingga sekarang. Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Tiongkok.

Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833.

Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution.

Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.

Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 – 1820 dan kemudian meng-Islamkan Tanah Batak Selatan, yang sebenar di wilayah ini sudah hidup Islam yang dikembangkan kaum sufi setempat.

Meman, sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.

Agama Islam yang dikembangkan Paderi ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol), karena mereka datang dari Bonjol. Namun, seperti yang terjadi di Jawa Timur dan Banten, ada juga rakyat setempat yang tidak mau masuk Islam, kemudian menyingkir ke utara. Jadi, akibat masuknya kaum Paderi dari Bonjol ke Tanah Batak itu, memang ada rakyatnya yang melarikan diri sampai Malaya.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun.

Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao (Pongkinangolngolan Sinambela) dan Tuanku Lelo (Idris Nasution), yang adalah putra-putra Batak sendiri.

Kemudian sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.

Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.

Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.

Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau.

Bahkan, Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti) hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar untuk membunuh keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua (Dinasti Sisingamangaraja).

Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang dan ia menjadi raja.

Sedangkan Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.

 

Balas Dendam Marga Siregar

Perang Padri dan penyiaran agama Islam itu ternyata dimanfaatkan keturunan Marga Siregar untuk mengadakan balas dendam terhadap Dinasti Singamangaraja, yang pernah terpaksa harus meninggalkan kampung asalnya  di Muara, pinggiran Danau Toba, Tapanuli Utara.

Konon, ketika bermukim di daerah Muara, Marga Siregar sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara.

Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, pemimpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.

Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda.

Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.

Pembalasan terjadi pada 1819 bersamaan dengan penyerbuan yang dilakukan oleh Pasukan Padri di bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao), terhadap Singamangaraja X, di Benteng Bakkara.  Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti) ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X.

Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding dan Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan tersebut. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atas kuda.

Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah.

Orang-orang marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 untuk kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara, termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.

 

Tentang Tuanku Rao

Apa & Siapa Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)? Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX, sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.

Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya.

Namun, untuk nama marga tidak mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Padahal, nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini. Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang.

Dalam suatu upacara adat, secara proforma Pongkinangolngolan “dijual” kepada Jongga Simorangkir dan Pongkinangolngolan menjadi bermarga Simorangkir. Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.

Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.

Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.

Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung.

Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di Minangkabau, yang menganut aliran Syi’ah. Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki. Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali, termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing.

Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan. Ia memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan kepadanya untuk dididik olehnya.

Pada 9 Rabiu’ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak!

Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. (ARS)

 

Catatan: Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar, “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”, Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964.

Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyut dari Mangaraja Onggang Parlindungan ( hlm. 358). Dari ayahnya, Sutan Martua Raja Siregar, seorang guru sejarah, M.O. Parlindungan memperoleh warisan sejumlah catatan tangan yang merupakan hasil penelitian dari Willem Iskandar, Guru Batak, Sutan Martua Raja dan Residen Poortman.

Sebenarnya ia hanya bermaksud menulis buku untuk putra-putranya. Buku tersebut memuat banyak rahasia keluarga, termasuk kebiadaban yang dilakukan oleh Tuanku Lelo tersebut.

Mayjen TNI (purn.) T.Bonar Simatupang menilai, bahwa tulisan tersebut banyak mengandung sejarah Batak, yang perlu diketahui oleh generasi muda Batak. Parlindungan Siregar setuju untuk menerbitkan karyanya untuk publik. Parlindungan Siregar meminta T.B. Simatupang, Ali Budiarjo, SH dan dr. Wiliater Hutagalung memberi masukan-masukan dan koreksi terhadap naskah buku tersebut. (Ars)

11 Tanggapan

  1. Ass. WW,

    Sepertinya ada sedikit pembelokan sejarah, kemungkinan penulis buku tersebut tidak sepenuhnya menulis dengan tepat.

    1. Pemimpin marga Siregar di zaman Paderi adalah Ja Onggang Siregar dari Baringin Tumburjati yang bertempat tinggal di Bungabondar, dan pusat kerajaan waktu itu adalah di Lobu Hasona. Keluarga Jatengger Siregar sebagai turunan dari Ompu Ni Hatunggal adalah Datu2 (sibaso). Itu sangat jelas kenapa setiap orang2 siregar salak terdesak mereka akan bersembunyi ke Bungabondar karena kekuatan Siregar Salak memang ada di situ….karena dahulu kala sebelum gempa besar di abad 19 ada goa yg tersambung dari BungaBondar sampai Parau yg menjadi pusat pertahanan Siregar Salak.

    2. Semua anak cucu Ja Onggang Siregar adalah Islam dan begitu juga keluarga Sori Mangaraja (Sagala) yg jadi mora pusaka bagi Siregar Salak sudah masuk Islam juga….tapi kemudian hari ada satu yg Kristen karena sewaktu dalam kandungan ibunya kawin dengan Orang Toba dan tidak lagi berada dalam asuhan keluarga. Kemudian di zaman belanda, ada juga satu orang yg pindah agama karena istrinya orang Kristen.

    3. Keputusan Ja Onggang Siregar untuk convert ke Islam sepertinya bukan merupakan paksaan, karena dari fakta bahwa seluruh keluarga Siregar Salak hampir seluruhnya pindah ke Islam bahkan waktu Belanda berkuasa tidak mampu memaksakan agama Kristen di daerah Sipirok….walaupun dengan tekanan yang sangat represif misalnya dengan merampas tanah milik keluarga dengan alasan tidak bayar pajak, padahal yang bersedia jadi mata2 Belanda tidak dikenai pajak. Jika Islam itu dipaksakan di Sipirok, berarti sewaktu missionaris Kristen seperti Nonmensen datang pastilah sudah rame2 pindah agama tentunya.

    4. Belanda tahu betul Bungabondar adalah sentral dari Siregar Salak saat itu, sehingga memusatkan pusat penyebarannya di situ….dengan harapan keluarga Siregar Salak akan ikut. Namun keluarga Siregar Salak juga lebih maju selangkah karena sudah menganut agama yang paling modern dan masuk akal.

    • Walaikum salam………..
      Saya membuat tulisan tentang Siregar, Islam dan Sipirok semata-mata adalah lantaraan kecintaan terhadap marga Siregar. Pada dasarnya tulisan ini saya sarikan dari buku karangan MOP dan beberapa tulisan orang lain di internet.
      Mungkin saja Jatengger Siregar alias Tuanku Ali Sakti disebut sebagai pemimpin bermarga siregar saat terjadi perang padri, karena penulisnya (MOP) adalah keturunan dari Jatengger Siregar (Ompu Ni Hatunggal). Namun, data-data yang disajikannya terlihat lebih akurat dan tidak sekedar cerita belaka.
      Pada dasarnya siapapun orang yang bermarga Siregar yang menjadi pemimpin perang Padri itu, saya sangat senang. Kalau disebut Ja Onggang Siregar saya juga senang, karena saya bermarga Siregar.
      Saya sendiri (Ali Rahmat Siregar) tidak banyak tahu tentang sejarah Siregar. Kalau ditanya ‘raja-raja adat di Sipirok selalu tidak memuaskan.
      Perlu saya beritahukan, saya dilahirkan di Desa Padang Bujur, Kecamatan Sipirok, tahun 1969. Di desa ini ada juga yang bergelar raja adat luat harangan bernama Solonggahon Siregar, yang saya panggil sebagai uda.
      Dari cetita yang saya ketahui Desa Padang Bujur itu dibentuk atau pemekaran dari Desa Paran Dolok. Sedangkan Paran Dolok merupakan ‘wilayah kekuasaan’ dari Ompu Parlindungan (salah satu anak dari Ompu Palti Raja). Jadi, saya ‘bukan berasal’ dari garis keturunan Ompu Ni Hatunggal, tapi berasal dari Ompu Parlindungan.

      Wassalam, tolong dibalas

      • Yup. Setuju……

        Siregar dari Sipirok itu banyak yang disebut dengan Siregar Salak…karena asalnya dari daerah Salak Dairi.

        Togar Natigor Siregar yg memegang jabatan Ompu Palti Raja (Palti = Patih) sewaktu terdesak oleh kelompok Simanullang & Singamangaraja (balige Raja) meninggalkan istrinya br Sagala & anaknya yg masih kecil di Istana Sorimangaraja (daerah Sianjur Mula2…Salak, Dairi) dan pergi membuka basis di Sabatangkayu-Padangbolak harangan….kemudian di sana kawin lagi dengan boru Gultom dan mempunyai 4 anak yaitu Sormin, Dongoran, Silali dan Siagian.

        Anaknya yang ditinggal sewaktu kecil namanya Ja Nabenggar atau Salakkan Raja alias Ompu ni Sahala Raja yang kemudian hari ikut migrasi bersama Raja Soambaton Sagala (Sorimangaraja XCI) ke Sipirok Sidaludalu Jae, kemudian hari membuka pusat kerajaan di Lobu Hasona – Paranjulu, dia adalah merupakan kakek dari Sahala Raja gelar Ompu Palti Raja….jadi Siregar Salak bukan dari Dongoran.

        Itu silsilah yg kami dapat turun-temurun, tapi yg beredar sekarang sudah dirobah2 oleh Belanda dengan tujuan mengaburkan sejarah dan memudahkan memecah belah kelompok tetea Bulan.

        Seperti kita ketahui bahwa Siregar adalah pendukung kuat kerajaan Batak yg dipimpin oleh dinasty Sagala Raja. Bisa anda cek, semua marga Siregar Salak pasti sangat menghargai marga Sagala, walaupun mungkin sudah 10 turunan tidak pernah lagi kawin keluarga dengan keluarga itu. Cobalah jalan-jalan ke Sampean Sipirok dan Rimba Soping dekat Batu Nadua Sidimpuan….di sana mayoritas marga Sagala dari dinasty Sagala Raja (banyak boru tulang kita di sana dan cakep2).

        Dalam struktur kerajaan Batak ada 3 pendamping raja yaitu Jonggi Manaor dari Borbor, Ompu Palti Raja dari Lontung dan Balige Raja dari Isumbaon. Sahala Raja diangkat menjadi Ompu Palti Raja oleh Sorimangaraja tentu karena kedekatan kita dengan mereka.

        Di zaman paderi sebelum Belanda datang, Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M dengan nama Syarif Sagala sudah masuk Islam….itulah salah satu yang membuat kita seluruh Siregar Salak masuk Islam. Waktu itu Raja Siregar Salak adalah Ja Onggang, beliau adalah cucu tertua dari Sutan Parlindungan (kuburannya ada di simpang Baringin seperti tugu monas….itu sebenarnya dipindahkan dari Lobu Hasona), anak dari Ompu Doro (kemudian hari memindahkan pusat kerajaan ke Bungabondar). Ja Onggang adalah bere langsung dari Sorimangaraja-CI, Ompu Doro juga istrinya br Sagala dari Rimba Soping, Sutan Parlindungan juga istrinya br Sagala.

        Menurut cerita kebanyakan orang Siregar, bahwa Ompu Ni Raja Parlindungan anak kedua dari Ompu Sahala Raja (Ompu Palti Raja) tokoh yang sangat dihormati seluruh marga Siregar di Tapsel….karena dia lah yg menyelamatkan semua marga Siregar dari Toba untuk menghindari penindasan Singamangaraja(Sinambela), dia itu seperti Musa bagi kita siregar. Ompu Ni Raja Parlindungan adalah bapak dari Ompu Darondong dan Ja Marmerong dan kakek dari Sutan Parlindungan.

        Sedangkan keluarga Ompu Ni Hatunggal kebanyakan adalah pemimpin agama Parmalim, dan keluarga Sayur Matua dari Parau Sorat – Salagundi adalah pemimpin adat.

        Bisa cek ke orang-orang yang mengerti sejarah Siregar Salak di daerah Simaninggir, Baringin, Parandolok, Mandurana, Liang, Gadu, Sampean, Babondar, Parau, mereka akan tau dengan Raja Onggang yang di Hasona (sekarang jadi Lobu Hasona karena sudah ditinggalkan keluarga, menyingkir ke Baringin, ke Sampean kemudian ke Bungabondar)….ceritanya panjang.

        Saat itu kekuatan kita yang sangat sulit dikalahkan musuh adalah antara Bungabondar, saba tombak, liang dan Parau karena adanya goa panjang di sana. Menurut cerita turun-temurun bahwa Imam Bonjol sewaktu melawan Belanda sembunyi di Bungabondar kemudian melewati goa tersebut lari ke Padangbolak….sebelum kemudian menyerah.

        Saya sendiri adalah turunan ke-12 dari Ompu Doro.

  2. Namun sangat disayangkan karena silsilah yag disimpan oleh oppung-oppung kita hanya menuliskan nama laki-laki….jadi amat sulit melakukan cross check dngan akurat.

    Semua ini cerita wasiat turun temurun.

  3. Mohon informasinya , saya Siregar dari Bunga bondar , tapi lahir diperantauan dan mau tanya Siregar salak di Bunga Bondar itu berapa keluarga , karena sewaktu mau ke Jawa di kasih abang anaknya uak saya silsilah siregar di Bunga Bondar yang dimulai dari Ompu Raja Lintong Soruan terus ke beberapa keturunannya satu diantaranya ke Jalembang Gunung , terus 1) Jamanokkon 2)Jabangun. Dari Jamanokkon ke Jamardakka . 2) dari jabangun ke Jagodang dan seterusnya sampai ke saya , ada yg bisa beri informasi enggak yahhh

  4. saya. Keturunan sutan solönggahon pdg bujur. Bapak ku rosein siregar.ompung manapi siregar yang merantau ke palembang.ayah ompungku adalah sutan solonggahon. Anak mangradja laoet b

  5. OMPU PALTI RAJA OMPU PALTI SABUNGAN SI SUAN HARIARA DI ONAN PANGARIBUAN DATU NA HURNUK DI NAPA NAPA SIBUALI BUALI. Ompu Ni Hatunggal (anak kandung yg tinggal di Sipirok), sedang yg dua lagi, satu di Baringin adalah anak Abang dan di Parausorat adalah anak Uda dari Ompu Palti Raja.

  6. Raja Batak – Tatea Bulan – Saribu Raja – Raja Lontung – Toga Siregar – Raja Dongoran – Palti Raja – Raja Hatunggal – Raja Somalap – Raja Sipirok – Raja Gorga – Raja Pinayungan – Baginda Raja Gorga Pinayungan Sipirok Bagas Godang – Toga Juang Natigor Siregar (Baginda Raja Gorga II) – dsb – dsb.

  7. Menurut Legenda, Putri Tapidonda melahirkan Si Raja Batak tanpa campur dengan Laki-Laki alias langsung dari Debata Mula Jadi Na Bolon (Tuhan Yang Maha Esa),,,hahaha,,mengklaim atau distorsi dari kisah Nabi Isa as. Menurut Logika adalah keturunan dari Proto Malayan (manusia yg tinggal di bukit2 dan gunung2), Deutro Malayan (manusia yg tinggal di pesisir pantai atau pinggiran sungai), analisa sementara, Proto Malayan keturunan dari Qonturah, nama Qonturah ada tertulis di Tauratnya Nabi Musa as. Mirip cerita Dewa Brahma ternyata Nabi Ibrahim as,,,hahaha, panjang kajiannya naik sampai ke Nabi Adam as, naik ke Penciptaan Alam Semesta beserta isinya , naik ke Nur Ahlul Kisa’ dan Nur Muhammad dan bermuara ke Wujud Murni (Allah Swt Pencipta Segala Sesuatu).

Tinggalkan Balasan ke Baginda Raja Gorga Pinayungan Ompu Dja Somalap Sipirok Bagas Godang. Batalkan balasan